Sabtu, 23 Juli 2016

MAKALAH-PERJUANGAN ERA ORDE LAMA DAN ERA ORDE BARU



BAB II

PEMBAHASAN

A.    PERJUANGAN ERA ORDE LAMA
      Pelaksanaan UUD 1945 yang merupakan hasil transformasi Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu dimulai tanggal 18 Agustus 1945. Pelaksananya ialah PPKI yang telah menyelenggarakan pemindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia seperti yang disebut oleh pasal I Aturan Peralihan. Kemudian PPKI memilih Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945 (pasal III Aturan Peralihan). Sukarno dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional (pasal IV Aturan Peralihan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Presiden kecuali sebagai Presiden juga memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA.
      Pada tanggal 29 Agustus PPKI dibubarkan oleh Sukarno dan anggotanya ditambah tokoh-tokoh nasionalis, seluruhnya berjumlah 135 orang dilantik menjadi anggota KNIP di Geduang Komidi yang kemudian disebut Gedung Kebudayaan. Dalam sidang itu Kasman Singadimeja, S.H. dilantik menjadi Ketua, dan sebagai Ketua I, II, dan III ialah Sutarja Kartahadikusuma, Yohannes Latuharhary, dan Adam Malik. Pada tanggal 31 Agustus Presiden Sukarno melantik kabinet pertama RI, yang terdiri dari R.A.A. S.H. (Menteri Luar Negeri), A.A. Maramis, S.H. (Menteri Keuangan), Prof. Dr. Supomo, S.H . (Menteri Kehakiman), Ir. Surakhman Cakraadisuryo (Menteri Kemakmuran), Supriyadi (Menteri Keamanan Rakyat), Dr. Buntaran Martaatmojo (Menteri Kesehatan), Ki Hajar Dewantara (Menteri Pengajaran), Amir Syarifuddin, S.H. (Menteri Penerangan), Iwa Kusuma Sumantri, S.H. (Menteri Sosial), Abikusno Cakrosujoso (Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Perhubungan), Wakhid Hasyim, Dr. M. Amir, R.M. Sartono, S.H,. dan R. Oto Iskandar Dinata, masing-masing sebagai Menteri Negara. Kecuali itu Dr. Kusuma Atmaja, S.H. diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung, Gatot, S.H. menjadi Jaksa Agung, dan A.G. Pringgodigdo sebagai Sekretaris Negara (Osman Raliby, 1953:33-34 Bdk. Kahin, 1970:140), dan pada tanggal 25 September Presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung dengan ketuanya R.M. Margono Joyohadi kusumo (Suwarno, 1981:34).
      Meskipun wilayah Negara RI tidak diatur dalam UUD, tetapi pada tanggal 5 September bersamaan dengan pengangkatan menteri-menteri Negara dari Kabinet Presidensial yang pertama diangkat juga delapan gubernur untuk delapan wilayah propinsi Indonesia, yaitu 1. Teuku Mohammad Hassan, S.H. gubernur Propinsi Sumatera; 2. Sutarjo Kartohadikusumo gubernur Propinsi Jawa Barat; 3. R. Panji Suroso gubernur Jawa Tengah; 4. R. A. Suryo gubernur Propinsi Jawa Timur; 5. I. Gusti Ktut Puja, S.H. gubernur Propinsi Sunda Kecil; 6. J. Latuharhary, S.H. gubernur Propinsi Maluku; 7. Dr. G.S.S.J. Ratulangie gubernur Propinsi Sulawesi; dan Ir. Pangeran Mohammad Noor gubernur Propinsi Kalimantan (Osman Raliby, 1953:33). Pada tanggal 5 September itu juga Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan bahwa Kesulatanan Yogyakarta dan Paku Alaman yang bersifat kerajaan menjadi Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kekuasaan seluruhnya berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia (Prodjo Sugardo, 1950: 151-152).
      Dengan pembentukan pemerintahan daerah di delapan propinsi dan di daerah-daerah istimewa itu nampak bahwa Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah Indonesia merdeka meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Namun pada tanggal 16 September Rear-Admiral W.R. Peterson wakil panglima SEAC di Singapura mendarat di Tanjung Priok dengan kapal Cumberland disertai Ch. O. Van Der Plas, wakil Van Mook. Pada tanggal 29 September Tentara Inggris (Sekutu) mendarat di Jakarta pukul 10.00 pagi dibawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison, panglima besar AFNEI (Allied Forces Netherland East-Indies). Di dalam rombongan ini membonceng beberapa orang dari markas besar tentara Belanda yang disertai satu kompi serdadu-serdadu Ambon (Osman Raliby, 1953: 34-36).
      Sebelum pendaratan itu, malamnya oleh radio SEAC di Singapura diumumkan tentang pendaratan itu sebagai berikut:
1.      Melindungi dan mengevakuasi tawanan-tawanan perang dan tawanan-tawanan biasa.
2.      Melucuti senjata-senjata dan mengembalikan serdadu-serdadu Jepang.
3.      Menjaga ketenteraman agar kedua maksud itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Ketika tiba di Indonesia Letjen Sir Philip Christison mengakui pemerintah RI yang dikepalai oleh Sukarno-Hatta sebagai kekuasaan de factodan menghendaki pemimpin-pemimpin Indonesia segera berunding dengan wakil-wakil Belanda dalam suatu konferensi meja bundar (Osman Raliby, 1953:36-43). Dalam menjalankan tugasnya Christison minta para pemimpin Republik untuk mendampinginya. Protes dari pihak Belanda tidak dihiraukan (C. Smit, 1986: 12).
      Pada tanggal 16 Oktober diadakan sidang KNIP yang dihadiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sidang ini agak kacau sebab banyak anggota muda yang menyerang pimpinan, tetapi akhirnya petisi 50 anggota KNIP itu diterima, dan Amir Syarifuddin mengusulkan agar dibentuk badan pekerja, sebab KNIP terlalu besar sehingga kurang dinamis dan efektif dalam memberi pimpinan.
      Pada tanggal 17 Oktober rapat dilanjutkan, dalam rapat ini serangan kaum muda terhadap pimpinan KNIP masih berlangsung terus sehingga Kasman Singodimejo menyerahkan pimpinan sidang kepada Ketua III Adam Malik. Dalam sidang ini disepakati Syahrir dan Amir Syarifuddin dijadikan formateur Badan Pekerja. Setelah sidang itu selesai maka formateur Badan Pekerja menyusun anggota BPNKIP, hasilnya sebagai berikut: Ketua: Syahrir, Wakil Ketua: Amir Syarifuddin, S.H., Sekretaris: Suwandi, S.H., Anggota: R. Syafrudin Prawiranegara, A. Wahid Hasyim, Hidramartana, S.H., R.M. Sunaria Kolopaking, S.H., Dr. A. Halim, Soebadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, Sarmidi Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajuludin, dan Dr. Sudarsono. (Soebadio Sastrosatomo, 1987:65-66).
      Dalam sidang-sidangnya BPKNIP mempermasalahkan perubahan kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer. Pada tanggal 11 November diputuskan bahwa perubahan itu harus dilakukan oleh BPKNIP dan Syahrir sebagai ketua BPKNI ditunjuk sebagai formatur cabinet. Keputusan ini disetujui oleh Mohammad Hatta, sebab pada waktu itu Presiden Sukarno sedang pergi keluar Jakarta. Maka sebelum Presiden Sukarno kembali ke Jakarta Syahrir berusaha untuk menyelesaikan penyusunan kabinet parlementernya.Pada tanggal 14 November itu keluarlah Maklumat Pemerintah yang memuat daftar kabinet parlementer bentukan Syahrir. Seperti halnya BPKNIP maka Syahrir dalam menyusun kabinet ini memberi perhatian penuh pada orang-orang yang sebelum Jepang datang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan Hindia Belanda.
      Maka Kabinet Syahrir itu sebagai: Perdana Menteri Syahrir, Menteri Dalam Negeri: Syahrir, Menteri Luar Negeri: Syahrir, Menteri Penerangan: Amir Syarifuddin, S.H., Menteri Keamanan: Amir Syarifuddin, S.H., Menteri Keuangan: Sunario Kolopaking, S.H., Menteri Perhubungan: Ir. Abdul Karim, Menteri Kesehatan: Dr. Darmosetiawan, Menteri Sosial: Dr. Ajidarmo, Menteri Kehakiman: Suwandi, S.H., Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan: Dr. Todung gelar St. Gunung Mulia, Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Putuhena, Menteri Kemakmuran: Ir. Darmawan Mangunkusumo, Menteri Negara: H. Rasyidi.
      Dengan diubahnya kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer, maka kabinet tidak bertanggung jawab kepada Presiden lagi tetapi bertanggungjawab kepada KNIP lewat BPKNIP sebagai badan legislatif. Kabinet parlementer berdasar UUD 1945 ini berjalan sampai tanggal 29 Januari 1948.

      Pada tanggal 18 September 1948 pertentangan partai politik di Negara RI memuncak sehingga meletuslah pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musa dan Amir Syarifuddin yang bermarkas di Madiun. Dalam hal ini Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Hatta bertindak tegas mengutuk pemberontakan itu dan minta rakyat membela Negara RI proklamasi untuk melawan Musa dan kawan-kawan yang akan mendirikan negeri komunis di Indonesia. Ternyata rakyat dengan serentak mentaati perintah Presiden dan membantu tentara menghancurkan PKI yang sedang berontak itu. Dalam waktu singkat keadaan dapat dikuasai oleh Perdana Menteri Hatta.
      Akan tetapi pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan agresi ke ibukota RI Yogyakarta, dan berhasil menduduki ibukota dan menangkap Presiden, wakil Presiden, para Menteri dan menduduki ibukota RI. Akan tetapi pemerintah RI sudah dipindahkan ke Sumatera di bawah pimpinan salah seorang menteri kabinet Hatta yaitu Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara.
      Tanggal 16 Desember dua hari sesudah KNIP meratifikasi persetujuan KMB, Mohammad Roem, sebagai ketua Badan Pemilihan Presiden mengadakan pemilihan Presiden RIS pertama di Kepatihan Yogyakarta.
      Pada tanggal 19 Desember Presiden Sukarno menunjuk Hatta, Hamengku Buwono IX, Ide Anak Agung Gede Agung, dan Sultan Hamid II menjadi formatur kabinet. Jumlah formatur ini menimbulkan masalah, sebab pasal 74 Konstitusi RIS hanya menyebutkan tiga orang formatur. Akan tetapi Presiden Sukarno mengatakan bahwa jumlah itu tidak bertentangan dengan Konstitusi, sebab sudah disepakati semua orang yang dikuasakan oleh Negara-negara bagian (Kedaulatan Rakyat, 19 Desember 1949). Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Kabinet RIS terdiri dari 16 menteri, 11 orang Republiken dan 5 orang Federalis (Kahin, 1970: 448-449).
      Konstitusi RIS yang mendasari berdirinya Negara RIS ini ditetapkan di Jakarta oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Menteri Kehakiman Supomo pada tanggal 31 Januari 1950 dan diumumkan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 6 Februari 1950 (A.K. Pringgodigdo, 1955: 10). Kecuali alat perlengkapan yang sudah dibentuk waktu persiapan berdirinya RIS itu Konstitusi RIS menetapkan alat-alat perlengkapan lain, yaitu Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan (pasal 44).
      Kedaulatan RIS dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat 2). Pemerintah ialah Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama (Pasal 68 ayat 1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Konstitusi RIS menganut sistem kabinet parlementer, meskipun kesan pengertian Negara menurut teori integralistik itu tidak dapat dihapuskan dari sistem pemerintahan tersebut.
      Setelah semua dirundingkan dan pada pertengahan Juli panitia penyusun UUDS yang diketuai Supomo sudah siap dengan RUUDS Negara Kesatuan RI, maka Negara RI dan RIS menyerahkan RUUDS itu kepada BPKNIP dan kepada Senat dan DPR. Kemudian Senat dan DPR mengesahkan UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RI menjadi UUDS RI (Lembaran Negara RI Tahun 1950 No. 7). Pada tanggal 15 Agustus 1950 di hadapan Senat dan DPR RIS Presiden Sukarno memproklamasikan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang bunyinya:
      Berdasarkan atas Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan pada taraf perjuangan Bangsa Indonesia untuk kemerdekaannya pada saat ini, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hari ini diproklamirkan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia (Ikhtisar Politik Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Jakarta 12-30 Agustus 1950. No. G. 17124 dalam Ide Anak Agung Gde Agung, 1985: 771).
      Sore harinya Presiden Sukarno pergi ke Yogyakarta membubarkan Negara Bagian Republik Indonesia dalam suatu upacara. Pada hari itu juga Perdana Menteri Mohammad Hatta menyampaikan pengunduran kabinetnya kepada Presiden Sukarno dan pada tanggal 16 Agustus Presiden Sukarno melantik Dewan Perwakilan Rakyat baru Negara Kesatuan Republik Indonesia (Ide Anak Agung Gde Agung, 1950: 772).
      Berdasarkan Proklamasi yang diucapkan oleh Presiden Sukarno dan konsideran UU No. 7 Tahun 1950 sebenarnya Negara RIS dan Negara Kesatuan RI itu bukan Negara baru, tetapi merupakan kelanjutan dari Negara RI Proklamasi 17 Agustus 1945. Berdasarkan kenyataan ini Notonegoro menyatakan bahwa ketika UUD 1945 diganti Konstitusi RI dan UUDS sumber tertib hukum dan pokok kaidah Negara yang fundamental Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak diganti dan tidak berubah, sebab adanya melekat pada adanya Negara, maka kalau Negara dilanjutkan sumber tertib hukum dan pokok kaidah Negara yang fundamental itu juga dilanjutkan. Konstitusi RIS (mukadimah dan batang tubuhnya) dan UUDS (mukamidah dan batang tubuhnya) hanya menggantikan batang tubuh UUD 1945, tetapi tidak menggantikan Pembukaannya yang mempunyai status sebagai sumber tertib hukum dan pokok kaidah Negara yang fundamental (Notonegoro, nomer kedua, 1962: 46-49).
      Selama UUDS dilaksanakan kabinetlah yang sering jatuh, karena tidak adanya partai politik yang berhasil menguasai mayoritas kursi DPR, dan DPR sendiri belum pernah dibubarkan. Perpecahan yang ditimbulkan oleh RIS rupanya masih efektif, sehingga polarisasi yang dulu mengambil bentuk kelompok unitaris, menghadapi kelompok federalis, kini lebih meluas, bahkan sampai sesudah pemilihan umum tahun 1955 (Lihat Feith, 1978). Maka perjalanan menuju Negara proklamasi 17 Agustus 1945 tidak lagi menempuh cara memberlakukan esensialia UUD 1945 dan tiga pasal penting seperti telah disebut di atas, tetapi kembali secara penuh ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1949.





B.     PERJUANGAN ERA ORDE BARU
      Perjalanan ini tidak mulus, tetapi lewat tindakan-tindakan keras seperti pembubaran partai politik yang tidak mau mencantumkan Pancasila pada Anggaran Dasarnya, pernyataan Negara dalam keadaan darurat perang, dan akhirnya pembubaran Konstituante hasil pemilu tahun 1955.
      Dekrit Presiden 5 Juli didukung oleh rakyat Indonesia dan militer, dan dibenarkan oleh ahli hukum, meskipun beberapa partai politik mengatakan dekrit itu tidak sah. Ahli hukum menegaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sah dengan alasan bahwa dekrit itu didasarkan pada “hukum darurat Negara yang subjektif”.
      Isi pokok Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah:
1.      Menetapkan pembubaran konstituante
2.      Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit dan tidak berlakunya lagi UUDS
3.      Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan DPAS akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya (Lembaran Negara RI seperti dikutip J.C.T. Simorangkir, 1984: 272).
      Seperti di atas telah disebut dekrit itu diterima oleh rakyat dan didukung oleh pihak militer, dan DPR hasil pemilihan umum 1955 dalam sidangnya tanggal 22 Juli menerima dekrit itu secara aklamasi. Dengan demikian UUD 1945 dengan sah berlaku kembali. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No. 150 Tahun 1959 dan dicantumkan dalam Lembaran Negara No. 75, 1959.
      Pada tanggal 10 Juli 1959 Presiden Sukarno disumpah lagi sebagai Presiden berdasarkan UUD 1945. Sebagai Presiden dan Perdana Menteri dia membentuk kabinet pertamanya dengan 45 orang anggota.
      Presiden Sukarno mencoba untuk melaksanakan UUD 1945 yang merupakan transformasi dari sila-sila Pancasila dalam hidup bernegara yang konkret, meskipun semuanya masih serba sementara, karena situasinya pun dalam serba kedaruratan seperti yang disebutkan oleh konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam situasi yang demikian ternyata hidup bernegara ini tidak berjalan mulus, pada tahun 1965 sengketa politik yang setengah dipaksakan dimasukkan dalam kerangka hidup kenegaraan berdasarkan UUD 1945 yang masih serba sementara itu meledak menjadi suatu gerakan politik yang melanggar batas-batas norma yuridis kenegaraan dengan munculnya kekerasan bersenjata yang didukung PKI sehingga menimbulkan korban tidak sedikit dengan diawali jatuhnya korban para jendral Angkatan Darat di Jakarta. Dalam keadaan kacau itu Presiden mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret kepada Letjen Suharto, dan dengan dasar Surat Perintah itu Letjen Suharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 Tanggal 12 Maret 1966 yang ditandatanganinya, Isi Kepres ini ialah pembubaran PKI di seluruh wilayah Indonesia sejak keluarnya Kepres No. 1/3/1966 itu yaitu tanggal 12 Maret 1966 (Dwipayana dan Ramadhan K.H., 1989: 172).
      Dengan demikian kekuasaan beralih ke tangan Letjen Suharto dan pelaksanaan UUD 1945 dilanjutkan dengan tekad baru yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen. Untuk mewujudkan tekad itu pada tahun 1966 mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 dalam periode 1959-1965 yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
      Seperti ditegaskan dalam Pendahuluan Memorandum itu pada dasarnya dengan Dekrit 5 Juli 1959 Negara Indonesia sudah kembali kepada UUD 1945, kepada jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi kenyataanya selama pelaksanaan demokrasi terpimpin (1959-1966) jiwa dan ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen, maka akibatnya banyak penyelewengan terjadi, yang puncaknya berupa Gerakan Tigapuluh September/PKI. Atas dasar Surat Perintah 11 Maret 1966 penyelewengan dihentikan oleh penerimanya yaitu Letjen Suharto. Isi dan penerima Surat Perintah itu dilegitimasikan oleh MPRS.
      Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1969, pada tahun 1971 diadakan pemilihan umum yang diikuti oleh sembilan partai politik dan Sekber Golongan Karya. Dalam pemilihan umum ini kebanyakan partai politik merosot dalam hal perolehan suara, sedangkan Sekber Golongan Karya yang dulu dibentuk Presiden Sukarno dan dibersihkan oleh Presiden Suharto dari unsur-unsur partai politik mendapat kemenangan yang gemilang. Kalau dalam pemilihan umum tahun 1955 tak ada satu partai pun yang mendapat separoh kursi DPR, maka dalam pemilihan umum 1971 ini Sekber Golongan Karya mendapat 62,8% dari seluruh kursi DPR. (Donald Hindley, Asian Survey, Vol. XII No. 1 January 1972). Dengan demikian kedudukan Presiden Suharto makin mantap. Pemerintahan yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga-lembaga Negara dan lembaga pemerintahan yang tidak sementara lagi.
      Peristiwa 30 September 1965, menjadi tanda-tanda masa-masa pemerintahan Orde Lama dan sistem Demokrasi Terpimpin berakhir. Gerakan mahasiswa melalui KMMI dan KAPPI yang diikuti oleh segenap unsur masyarakat meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno terhadap gerakan 30 September dan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuntutan bahkan menajam dengan meminta Presiden Soekarno mundur dari pucuk pimpinan nasional, ketika ia dianggap terlibat dalam gerakan itu dan tidak mau menerima tuntutan pembubaran PKI.
      Banyak versi yang menyebut tentang keterlibatan Soekarno atas peristiwa yang mengakibatkan enam jendral meninggal dunia itu. Begitu juga dengan kontroversi tentang dukungan presiden pertama ini terhadap gerakan PKI. Hingga dewasa ini, pro dan kontra tentang hal itu belum habis dan masih menyisakan sejuta tanda tanya. Cukuplah disini dinyatakan bahwa peristiwa itu menjadi titik awal dimulainya pemerintahan Indonesia yang baru.
      Medio tahun 1966 Indonesia menyaksikan seorang Jenderal muda bernama Soeharto tampil di pucuk pimpinan nasional menyusul gerakan mahasiswa anti PKI dan Soekarno yang tak kunjung habis. Kendati “kepemimpinan” Soeharto belum diakui secara dejure, tetapi secara defactotokoh ini telah memiliki peran dalam berbagai aspek kehidupan kenegaraan. Teriakan “Hidup Tentara!” dan “Hidup Pak Harto!” menjadi yel-yel penting di awal tahun-tahun itu. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)- yang hingga kini juga masih menjadi wacana yang kontroverisal dan dipertanyakan keberadaannya makin memperkuat posisi dan peran Soeharto dalam pengendalian situasi keamanan dan politik Indonesia. Pengendalian situasi Indonesia, dan karenanya juga pengendalian pemerintahan, praktis berada di tangan Jenderal Soeharto.
      Setelah menjalankan tugas “pengendalian keamanan” Indonesia selama lebih dari satu tahun, Soeharto kemudian resmi menjadi Presiden RI kedua melalui Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dan dilantik pada waktu yang sama. Langkah pertama pemerintah baru ini adalah melakukan pembersihan terhadap seluruh unsur-unsur Partai Komunis Indonesia. Pada masa itu dilakukan “pembersihan” dan “pengamanan” pembantaian terhadap anggota PKI maupun mereka yang dianggap terlibat dalam Peristiwa 30 September 1965.
      Dalam menyelenggarakan pemerintahan, dengan belajar dari pengalaman Orde Lama yang gagal di bidang pembangunan ekonomi, Pemerintah Orde Baru mencoba membalikkan konsep pembangunan, dari pembangunan politik kea rah pembangunan ekonomi sebagai aspek materiel yang amat penting. Presiden Soeharto menawarkan pragmatism dan harmonisme.
      Pramagtisme senantiasa meletakkan cara paling efektif dalam menggapai tujuan sebagai nilai tertinggi. Dengan pramagtisme, Soeharto tidak ingin membiarkan Indonesia berkubang dalam hiruk-pikuk politik. Indonesia harus dipicu dengan pembangunan ekonomi secara penuh. Oleh karena itu, “Ekonomi sebagai panglima” merupakan statemenOrde Baru yang cukup menjanjikan, sekaligus sebagai jawaban untuk menggantikan logika “politik sebagai panglima” yang telah berlangsung selama lebih kurang dua puluh tahun di bawah pemerintahan Orde Lama. Dengan ekonomi sebagai panglima, Indonesia diharapkan dapat memfokuskan sistem kehidupan bangsanya pada pengelolaan sumber daya alam dan hasil bumi yang melimpah.
      Pada sisi lain, dalam rangka mengefektifkan konsep pembangunan, Soeharto menerapkan harmonisme, yaitu paham yang mengacu pada pola interaksi sosial yang mengutamakan keseimbangan dan keselarasan. Dengan paham ini, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang telah dirancang harus berjalan di atas stabilitas politik dan keamanan yang terkendali. Bagaimana akan tercipta kesejahteraan tanpa situasi politik dan keamanan yang stabil.
      Untuk kepentingan stabilitas nasional itu pula Orde Baru menyiapkan kebijakan dalam bidang politik dan pertahanan dengan menggunakan sistem Demokrasi Pancasila.
      Di bawah Demokrasi Pancasila Indonesia dapat merasakan stabilitas Nasional yang cukup memadai. Keamanan terkendali. Sektor ekonomi maju pesat. Pembangunan diupayakan dapat merata ke pelosok-pelosok negeri, meskipun hanya sedikit yang berhasil. Target dari sistem Demokrasi Pancasila adalah pembangunan ekonomi yang berencana, untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, stabilitas politik dan keamanan menjadi persoalan bangsa yang amat penting. Bagaimana akan tercipta kesejahteraan tanpa situasi politik dan keamanan yang stabil? Untuk itulah perlu dibuat “Undang-Undang Anti Subversi”, sanksi bagi petualang politik dan pengacau keamanan. Hasilnya cukup spektakuler. Rakyat khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, merasakan betul betapa tenang dan damai hidup di bawah sistem Demokrasi Pancasila.
      Rezim Demokrasi Pancasila sukses dalam beberapa hal, tetapi tidak sukses dalam banyak hal. Lemahnya bidang pengawasan dalam proses pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya “negosiasi” antara elite birokrasi dengan para pengusaha kelas menengah atas. Muncullah praktik-praktik yang kemudian dikenal dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan birokrasi, dari pusat merembet ke daerah-daerah.
      Di sisi lain situasi politik ternyata berada pada posisi “api dalam sekam”. Selama 32 tahun di bawah rezim Demokrasi Pancasila, rakyat semakin merasa hak-hak politiknya dipasung. Pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversi dan pembatasan kebebasan pers yang terlalu ketat, telah dirasakan menyumbat kran demokrasi.
      Pada gilirannya, dengan Demokrasi Pancasila, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai upaya untuk melegitimasikan kekuasaan, dengan cara melakukan sakraliasasi Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana konsep Demokrasi Terpimpin yang cenderung menjadikan kekuasaan terpusat di tangan satu orang dengan mengambil peran “Kebijaksanaan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,”pada masa Orde Baru, upaya sakralisasi ini terus berlanjut. Bahkan, konsep dan gagasan Soekarno yang tidak sempat  direalisasikan, atau yang kurang efektif dalam implementasinya, ternyata kemudian sukses di tangan Orde Baru. Dengan halus tetapi tepat sasaran, Soeharto sukses merealisasikan konsep dan gagasan Soekarno. Karena itu, banyak yang berpendapat, strategi dan kebijakan politik Orde Baru pada dasarnya merupakan strategi kebijakan politik Demokrasi Terpimpin. Gerakan 30 September kemudian menjadi moment penting bagi konsep sakralisasi Pancasila dan UUD 1945. Karena dari sini terbukti upaya-upaya untuk mengganti dasar Negara Pancasila mengalami kegagalan. Maka 1 Oktober menja-di Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila (dan juga UUD 1945) menjadi begitu sakti dan keramat. Tidak boleh “disentuh,” meskipun sebatas pembahasan dan diskusi.



       


BAB III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar