BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERJUANGAN
ERA ORDE LAMA
Pelaksanaan
UUD 1945 yang merupakan hasil transformasi Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 itu dimulai tanggal 18 Agustus 1945. Pelaksananya ialah PPKI
yang telah menyelenggarakan pemindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia
seperti yang disebut oleh pasal I Aturan Peralihan. Kemudian PPKI memilih Presiden
dan Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945 (pasal III Aturan Peralihan).
Sukarno dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI
pertama. Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD kekuasaannya dijalankan
oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional (pasal IV Aturan
Peralihan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Presiden kecuali sebagai
Presiden juga memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA.
Pada
tanggal 29 Agustus PPKI dibubarkan oleh Sukarno dan anggotanya ditambah
tokoh-tokoh nasionalis, seluruhnya berjumlah 135 orang dilantik menjadi anggota
KNIP di Geduang Komidi yang kemudian disebut Gedung Kebudayaan. Dalam sidang
itu Kasman Singadimeja, S.H. dilantik menjadi Ketua, dan sebagai Ketua I, II,
dan III ialah Sutarja Kartahadikusuma, Yohannes Latuharhary, dan Adam Malik.
Pada tanggal 31 Agustus Presiden Sukarno melantik kabinet pertama RI, yang
terdiri dari R.A.A. S.H. (Menteri Luar Negeri), A.A. Maramis, S.H. (Menteri
Keuangan), Prof. Dr. Supomo, S.H . (Menteri Kehakiman), Ir. Surakhman
Cakraadisuryo (Menteri Kemakmuran), Supriyadi (Menteri Keamanan Rakyat), Dr.
Buntaran Martaatmojo (Menteri Kesehatan), Ki Hajar Dewantara (Menteri
Pengajaran), Amir Syarifuddin, S.H. (Menteri Penerangan), Iwa Kusuma Sumantri,
S.H. (Menteri Sosial), Abikusno Cakrosujoso (Menteri Pekerjaan Umum merangkap
Menteri Perhubungan), Wakhid Hasyim, Dr. M. Amir, R.M. Sartono, S.H,. dan R.
Oto Iskandar Dinata, masing-masing sebagai Menteri Negara. Kecuali itu Dr.
Kusuma Atmaja, S.H. diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung, Gatot, S.H. menjadi
Jaksa Agung, dan A.G. Pringgodigdo sebagai Sekretaris Negara (Osman Raliby,
1953:33-34 Bdk. Kahin, 1970:140), dan
pada tanggal 25 September Presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung dengan
ketuanya R.M. Margono Joyohadi kusumo (Suwarno, 1981:34).
Meskipun
wilayah Negara RI tidak diatur dalam UUD, tetapi pada tanggal 5 September
bersamaan dengan pengangkatan menteri-menteri Negara dari Kabinet Presidensial
yang pertama diangkat juga delapan gubernur untuk delapan wilayah propinsi
Indonesia, yaitu 1. Teuku Mohammad Hassan, S.H. gubernur Propinsi Sumatera; 2.
Sutarjo Kartohadikusumo gubernur Propinsi Jawa Barat; 3. R. Panji Suroso
gubernur Jawa Tengah; 4. R. A. Suryo gubernur Propinsi Jawa Timur; 5. I. Gusti
Ktut Puja, S.H. gubernur Propinsi Sunda Kecil; 6. J. Latuharhary, S.H. gubernur
Propinsi Maluku; 7. Dr. G.S.S.J. Ratulangie gubernur Propinsi Sulawesi; dan Ir.
Pangeran Mohammad Noor gubernur Propinsi Kalimantan (Osman Raliby, 1953:33).
Pada tanggal 5 September itu juga Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII
menyatakan bahwa Kesulatanan Yogyakarta dan Paku Alaman yang bersifat kerajaan
menjadi Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kekuasaan seluruhnya
berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia (Prodjo Sugardo, 1950:
151-152).
Dengan
pembentukan pemerintahan daerah di delapan propinsi dan di daerah-daerah
istimewa itu nampak bahwa Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah Indonesia
merdeka meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Namun pada tanggal 16
September Rear-Admiral W.R. Peterson wakil panglima SEAC di Singapura mendarat
di Tanjung Priok dengan kapal Cumberland disertai Ch. O. Van Der Plas, wakil
Van Mook. Pada tanggal 29 September Tentara Inggris (Sekutu) mendarat di
Jakarta pukul 10.00 pagi dibawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison,
panglima besar AFNEI (Allied Forces
Netherland East-Indies). Di dalam rombongan ini membonceng beberapa orang
dari markas besar tentara Belanda yang disertai satu kompi serdadu-serdadu
Ambon (Osman Raliby, 1953: 34-36).
Sebelum
pendaratan itu, malamnya oleh radio SEAC di Singapura diumumkan tentang
pendaratan itu sebagai berikut:
1. Melindungi
dan mengevakuasi tawanan-tawanan perang dan tawanan-tawanan biasa.
2. Melucuti
senjata-senjata dan mengembalikan serdadu-serdadu Jepang.
3. Menjaga
ketenteraman agar kedua maksud itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Ketika tiba di Indonesia Letjen Sir Philip
Christison mengakui pemerintah RI yang dikepalai oleh Sukarno-Hatta sebagai
kekuasaan de factodan menghendaki
pemimpin-pemimpin Indonesia segera berunding dengan wakil-wakil Belanda dalam
suatu konferensi meja bundar (Osman Raliby, 1953:36-43). Dalam menjalankan
tugasnya Christison minta para pemimpin Republik untuk mendampinginya. Protes
dari pihak Belanda tidak dihiraukan (C. Smit, 1986: 12).
Pada
tanggal 16 Oktober diadakan sidang KNIP yang dihadiri oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Sidang ini agak kacau sebab banyak anggota muda yang menyerang
pimpinan, tetapi akhirnya petisi 50 anggota KNIP itu diterima, dan Amir
Syarifuddin mengusulkan agar dibentuk badan pekerja, sebab KNIP terlalu besar
sehingga kurang dinamis dan efektif dalam memberi pimpinan.
Pada
tanggal 17 Oktober rapat dilanjutkan, dalam rapat ini serangan kaum muda
terhadap pimpinan KNIP masih berlangsung terus sehingga Kasman Singodimejo
menyerahkan pimpinan sidang kepada Ketua III Adam Malik. Dalam sidang ini
disepakati Syahrir dan Amir Syarifuddin dijadikan formateur Badan Pekerja.
Setelah sidang itu selesai maka formateur Badan Pekerja menyusun anggota
BPNKIP, hasilnya sebagai berikut: Ketua: Syahrir, Wakil Ketua: Amir
Syarifuddin, S.H., Sekretaris: Suwandi, S.H., Anggota: R. Syafrudin
Prawiranegara, A. Wahid Hasyim, Hidramartana, S.H., R.M. Sunaria Kolopaking,
S.H., Dr. A. Halim, Soebadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, Sarmidi
Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajuludin, dan Dr. Sudarsono. (Soebadio
Sastrosatomo, 1987:65-66).
Dalam
sidang-sidangnya BPKNIP mempermasalahkan perubahan kabinet presidensial menjadi
kabinet parlementer. Pada tanggal 11 November diputuskan bahwa perubahan itu
harus dilakukan oleh BPKNIP dan Syahrir sebagai ketua BPKNI ditunjuk sebagai
formatur cabinet. Keputusan ini disetujui oleh Mohammad Hatta, sebab pada waktu
itu Presiden Sukarno sedang pergi keluar Jakarta. Maka sebelum Presiden Sukarno
kembali ke Jakarta Syahrir berusaha untuk menyelesaikan penyusunan kabinet
parlementernya.Pada tanggal 14 November itu keluarlah Maklumat Pemerintah yang
memuat daftar kabinet parlementer bentukan Syahrir. Seperti halnya BPKNIP maka
Syahrir dalam menyusun kabinet ini memberi perhatian penuh pada orang-orang
yang sebelum Jepang datang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan Hindia
Belanda.
Maka
Kabinet Syahrir itu sebagai: Perdana Menteri Syahrir, Menteri Dalam Negeri:
Syahrir, Menteri Luar Negeri: Syahrir, Menteri Penerangan: Amir Syarifuddin,
S.H., Menteri Keamanan: Amir Syarifuddin, S.H., Menteri Keuangan: Sunario
Kolopaking, S.H., Menteri Perhubungan: Ir. Abdul Karim, Menteri Kesehatan: Dr.
Darmosetiawan, Menteri Sosial: Dr. Ajidarmo, Menteri Kehakiman: Suwandi, S.H.,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan: Dr. Todung gelar St. Gunung
Mulia, Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Putuhena, Menteri Kemakmuran: Ir. Darmawan
Mangunkusumo, Menteri Negara: H. Rasyidi.
Dengan
diubahnya kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer, maka kabinet tidak
bertanggung jawab kepada Presiden lagi tetapi bertanggungjawab kepada KNIP
lewat BPKNIP sebagai badan legislatif. Kabinet parlementer berdasar UUD 1945
ini berjalan sampai tanggal 29 Januari 1948.
Pada
tanggal 18 September 1948 pertentangan partai politik di Negara RI memuncak
sehingga meletuslah pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musa dan Amir
Syarifuddin yang bermarkas di Madiun. Dalam hal ini Presiden Sukarno dan
Perdana Menteri Hatta bertindak tegas mengutuk pemberontakan itu dan minta
rakyat membela Negara RI proklamasi untuk melawan Musa dan kawan-kawan yang
akan mendirikan negeri komunis di Indonesia. Ternyata rakyat dengan serentak
mentaati perintah Presiden dan membantu tentara menghancurkan PKI yang sedang
berontak itu. Dalam waktu singkat keadaan dapat dikuasai oleh Perdana Menteri
Hatta.
Akan
tetapi pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan agresi ke ibukota RI
Yogyakarta, dan berhasil menduduki ibukota dan menangkap Presiden, wakil
Presiden, para Menteri dan menduduki ibukota RI. Akan tetapi pemerintah RI
sudah dipindahkan ke Sumatera di bawah pimpinan salah seorang menteri kabinet
Hatta yaitu Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara.
Tanggal
16 Desember dua hari sesudah KNIP meratifikasi persetujuan KMB, Mohammad Roem,
sebagai ketua Badan Pemilihan Presiden mengadakan pemilihan Presiden RIS
pertama di Kepatihan Yogyakarta.
Pada
tanggal 19 Desember Presiden Sukarno menunjuk Hatta, Hamengku Buwono IX, Ide
Anak Agung Gede Agung, dan Sultan Hamid II menjadi formatur kabinet. Jumlah
formatur ini menimbulkan masalah, sebab pasal 74 Konstitusi RIS hanya
menyebutkan tiga orang formatur. Akan tetapi Presiden Sukarno mengatakan bahwa
jumlah itu tidak bertentangan dengan Konstitusi, sebab sudah disepakati semua
orang yang dikuasakan oleh Negara-negara bagian (Kedaulatan Rakyat, 19 Desember
1949). Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Kabinet RIS terdiri dari 16 menteri,
11 orang Republiken dan 5 orang Federalis (Kahin, 1970: 448-449).
Konstitusi
RIS yang mendasari berdirinya Negara RIS ini ditetapkan di Jakarta oleh Perdana
Menteri Mohammad Hatta dan Menteri Kehakiman Supomo pada tanggal 31 Januari
1950 dan diumumkan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 6 Februari 1950 (A.K.
Pringgodigdo, 1955: 10). Kecuali alat perlengkapan yang sudah dibentuk waktu
persiapan berdirinya RIS itu Konstitusi RIS menetapkan alat-alat perlengkapan
lain, yaitu Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas
Keuangan (pasal 44).
Kedaulatan
RIS dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat
2). Pemerintah ialah Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama (Pasal 68 ayat
1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Konstitusi RIS menganut sistem
kabinet parlementer, meskipun kesan pengertian Negara menurut teori
integralistik itu tidak dapat dihapuskan dari sistem pemerintahan tersebut.
Setelah
semua dirundingkan dan pada pertengahan Juli panitia penyusun UUDS yang
diketuai Supomo sudah siap dengan RUUDS Negara Kesatuan RI, maka Negara RI dan
RIS menyerahkan RUUDS itu kepada BPKNIP dan kepada Senat dan DPR. Kemudian
Senat dan DPR mengesahkan UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara RI menjadi UUDS RI (Lembaran Negara RI Tahun 1950 No. 7). Pada
tanggal 15 Agustus 1950 di hadapan Senat dan DPR RIS Presiden Sukarno
memproklamasikan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
bunyinya:
Berdasarkan atas
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan pada taraf perjuangan Bangsa
Indonesia untuk kemerdekaannya pada saat ini, maka Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada hari ini diproklamirkan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia
(Ikhtisar Politik Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Jakarta 12-30 Agustus
1950. No. G. 17124 dalam Ide Anak Agung Gde Agung, 1985: 771).
Sore harinya
Presiden Sukarno pergi ke Yogyakarta membubarkan Negara Bagian Republik
Indonesia dalam suatu upacara. Pada hari itu juga Perdana Menteri Mohammad
Hatta menyampaikan pengunduran kabinetnya kepada Presiden Sukarno dan pada
tanggal 16 Agustus Presiden Sukarno melantik Dewan Perwakilan Rakyat baru
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Ide Anak Agung Gde Agung, 1950: 772).
Berdasarkan
Proklamasi yang diucapkan oleh Presiden Sukarno dan konsideran UU No. 7 Tahun
1950 sebenarnya Negara RIS dan Negara Kesatuan RI itu bukan Negara baru, tetapi
merupakan kelanjutan dari Negara RI Proklamasi 17 Agustus 1945. Berdasarkan
kenyataan ini Notonegoro menyatakan bahwa ketika UUD 1945 diganti Konstitusi RI
dan UUDS sumber tertib hukum dan pokok kaidah Negara yang fundamental Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak diganti dan tidak berubah, sebab adanya
melekat pada adanya Negara, maka kalau Negara dilanjutkan sumber tertib hukum
dan pokok kaidah Negara yang fundamental itu juga dilanjutkan. Konstitusi RIS
(mukadimah dan batang tubuhnya) dan UUDS (mukamidah dan batang tubuhnya) hanya
menggantikan batang tubuh UUD 1945, tetapi tidak menggantikan Pembukaannya yang
mempunyai status sebagai sumber tertib hukum dan pokok kaidah Negara yang
fundamental (Notonegoro, nomer kedua, 1962: 46-49).
Selama
UUDS dilaksanakan kabinetlah yang sering jatuh, karena tidak adanya partai
politik yang berhasil menguasai mayoritas kursi DPR, dan DPR sendiri belum
pernah dibubarkan. Perpecahan yang ditimbulkan oleh RIS rupanya masih efektif,
sehingga polarisasi yang dulu mengambil bentuk kelompok unitaris, menghadapi
kelompok federalis, kini lebih meluas, bahkan sampai sesudah pemilihan umum
tahun 1955 (Lihat Feith, 1978). Maka perjalanan menuju Negara proklamasi 17
Agustus 1945 tidak lagi menempuh cara memberlakukan esensialia UUD 1945 dan
tiga pasal penting seperti telah disebut di atas, tetapi kembali secara penuh
ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1949.
B.
PERJUANGAN
ERA ORDE BARU
Perjalanan
ini tidak mulus, tetapi lewat tindakan-tindakan keras seperti pembubaran partai
politik yang tidak mau mencantumkan Pancasila pada Anggaran Dasarnya,
pernyataan Negara dalam keadaan darurat perang, dan akhirnya pembubaran
Konstituante hasil pemilu tahun 1955.
Dekrit
Presiden 5 Juli didukung oleh rakyat Indonesia dan militer, dan dibenarkan oleh
ahli hukum, meskipun beberapa partai politik mengatakan dekrit itu tidak sah.
Ahli hukum menegaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sah dengan alasan bahwa
dekrit itu didasarkan pada “hukum darurat Negara yang subjektif”.
Isi
pokok Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah:
1. Menetapkan
pembubaran konstituante
2. Menetapkan
Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit dan tidak
berlakunya lagi UUDS
3. Pembentukan
MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan DPAS akan diselenggarakan
dalam waktu sesingkat-singkatnya (Lembaran Negara RI seperti dikutip J.C.T.
Simorangkir, 1984: 272).
Seperti
di atas telah disebut dekrit itu diterima oleh rakyat dan didukung oleh pihak
militer, dan DPR hasil pemilihan umum 1955 dalam sidangnya tanggal 22 Juli
menerima dekrit itu secara aklamasi. Dengan demikian UUD 1945 dengan sah
berlaku kembali. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dituangkan dalam Keputusan
Presiden RI No. 150 Tahun 1959 dan dicantumkan dalam Lembaran Negara No. 75,
1959.
Pada
tanggal 10 Juli 1959 Presiden Sukarno disumpah lagi sebagai Presiden
berdasarkan UUD 1945. Sebagai Presiden dan Perdana Menteri dia membentuk
kabinet pertamanya dengan 45 orang anggota.
Presiden
Sukarno mencoba untuk melaksanakan UUD 1945 yang merupakan transformasi dari
sila-sila Pancasila dalam hidup bernegara yang konkret, meskipun semuanya masih
serba sementara, karena situasinya pun dalam serba kedaruratan seperti yang
disebutkan oleh konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam situasi yang
demikian ternyata hidup bernegara ini tidak berjalan mulus, pada tahun 1965
sengketa politik yang setengah dipaksakan dimasukkan dalam kerangka hidup
kenegaraan berdasarkan UUD 1945 yang masih serba sementara itu meledak menjadi
suatu gerakan politik yang melanggar batas-batas norma yuridis kenegaraan
dengan munculnya kekerasan bersenjata yang didukung PKI sehingga menimbulkan
korban tidak sedikit dengan diawali jatuhnya korban para jendral Angkatan Darat
di Jakarta. Dalam keadaan kacau itu Presiden mengeluarkan Surat Perintah 11
Maret kepada Letjen Suharto, dan dengan dasar Surat Perintah itu Letjen Suharto
mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 Tanggal 12 Maret 1966 yang
ditandatanganinya, Isi Kepres ini ialah pembubaran PKI di seluruh wilayah
Indonesia sejak keluarnya Kepres No. 1/3/1966 itu yaitu tanggal 12 Maret 1966
(Dwipayana dan Ramadhan K.H., 1989: 172).
Dengan
demikian kekuasaan beralih ke tangan Letjen Suharto dan pelaksanaan UUD 1945
dilanjutkan dengan tekad baru yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD secara murni
dan konsekuen. Untuk mewujudkan tekad itu pada tahun 1966 mengeluarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang merupakan koreksi terhadap pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 dalam periode 1959-1965 yang dipimpin oleh Presiden
Sukarno.
Seperti
ditegaskan dalam Pendahuluan Memorandum itu pada dasarnya dengan Dekrit 5 Juli
1959 Negara Indonesia sudah kembali kepada UUD 1945, kepada jiwa Proklamasi 17
Agustus 1945, tetapi kenyataanya selama pelaksanaan demokrasi terpimpin
(1959-1966) jiwa dan ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu belum dilaksanakan secara
murni dan konsekuen, maka akibatnya banyak penyelewengan terjadi, yang
puncaknya berupa Gerakan Tigapuluh September/PKI. Atas dasar Surat Perintah 11
Maret 1966 penyelewengan dihentikan oleh penerimanya yaitu Letjen Suharto. Isi
dan penerima Surat Perintah itu dilegitimasikan oleh MPRS.
Berdasarkan
Undang-undang No. 15 Tahun 1969, pada tahun 1971 diadakan pemilihan umum yang
diikuti oleh sembilan partai politik dan Sekber Golongan Karya. Dalam pemilihan
umum ini kebanyakan partai politik merosot dalam hal perolehan suara, sedangkan
Sekber Golongan Karya yang dulu dibentuk Presiden Sukarno dan dibersihkan oleh
Presiden Suharto dari unsur-unsur partai politik mendapat kemenangan yang
gemilang. Kalau dalam pemilihan umum tahun 1955 tak ada satu partai pun yang
mendapat separoh kursi DPR, maka dalam pemilihan umum 1971 ini Sekber Golongan
Karya mendapat 62,8% dari seluruh kursi DPR. (Donald Hindley, Asian Survey, Vol. XII No. 1 January
1972). Dengan demikian kedudukan Presiden Suharto makin mantap. Pemerintahan
yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga-lembaga Negara dan
lembaga pemerintahan yang tidak sementara lagi.
Peristiwa
30 September 1965, menjadi tanda-tanda masa-masa pemerintahan Orde Lama dan
sistem Demokrasi Terpimpin berakhir. Gerakan mahasiswa melalui KMMI dan KAPPI
yang diikuti oleh segenap unsur masyarakat meminta pertanggungjawaban Presiden
Soekarno terhadap gerakan 30 September dan pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI). Tuntutan bahkan menajam dengan meminta Presiden Soekarno mundur dari
pucuk pimpinan nasional, ketika ia dianggap terlibat dalam gerakan itu dan
tidak mau menerima tuntutan pembubaran PKI.
Banyak
versi yang menyebut tentang keterlibatan Soekarno atas peristiwa yang
mengakibatkan enam jendral meninggal dunia itu. Begitu juga dengan kontroversi
tentang dukungan presiden pertama ini terhadap gerakan PKI. Hingga dewasa ini,
pro dan kontra tentang hal itu belum habis dan masih menyisakan sejuta tanda
tanya. Cukuplah disini dinyatakan bahwa peristiwa itu menjadi titik awal
dimulainya pemerintahan Indonesia yang baru.
Medio
tahun 1966 Indonesia menyaksikan seorang Jenderal muda bernama Soeharto tampil
di pucuk pimpinan nasional menyusul gerakan mahasiswa anti PKI dan Soekarno
yang tak kunjung habis. Kendati “kepemimpinan” Soeharto belum diakui secara dejure, tetapi secara defactotokoh ini telah memiliki peran
dalam berbagai aspek kehidupan kenegaraan. Teriakan “Hidup Tentara!” dan “Hidup
Pak Harto!” menjadi yel-yel penting di awal tahun-tahun itu. Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar)- yang hingga kini juga masih menjadi wacana yang
kontroverisal dan dipertanyakan keberadaannya makin memperkuat posisi dan peran
Soeharto dalam pengendalian situasi keamanan dan politik Indonesia.
Pengendalian situasi Indonesia, dan karenanya juga pengendalian pemerintahan,
praktis berada di tangan Jenderal Soeharto.
Setelah
menjalankan tugas “pengendalian keamanan” Indonesia selama lebih dari satu
tahun, Soeharto kemudian resmi menjadi Presiden RI kedua melalui Sidang
Istimewa MPRS tahun 1967 dan dilantik pada waktu yang sama. Langkah pertama
pemerintah baru ini adalah melakukan pembersihan terhadap seluruh unsur-unsur
Partai Komunis Indonesia. Pada masa itu dilakukan “pembersihan” dan
“pengamanan” pembantaian terhadap anggota PKI maupun mereka yang dianggap
terlibat dalam Peristiwa 30 September 1965.
Dalam
menyelenggarakan pemerintahan, dengan belajar dari pengalaman Orde Lama yang
gagal di bidang pembangunan ekonomi, Pemerintah Orde Baru mencoba membalikkan
konsep pembangunan, dari pembangunan politik kea rah pembangunan ekonomi
sebagai aspek materiel yang amat penting. Presiden Soeharto menawarkan
pragmatism dan harmonisme.
Pramagtisme senantiasa meletakkan cara
paling efektif dalam menggapai tujuan sebagai nilai tertinggi. Dengan
pramagtisme, Soeharto tidak ingin membiarkan Indonesia berkubang dalam
hiruk-pikuk politik. Indonesia harus dipicu dengan pembangunan ekonomi secara
penuh. Oleh karena itu, “Ekonomi sebagai panglima” merupakan statemenOrde Baru yang cukup
menjanjikan, sekaligus sebagai jawaban untuk menggantikan logika “politik
sebagai panglima” yang telah berlangsung selama lebih kurang dua puluh tahun di
bawah pemerintahan Orde Lama. Dengan ekonomi sebagai panglima, Indonesia
diharapkan dapat memfokuskan sistem kehidupan bangsanya pada pengelolaan sumber
daya alam dan hasil bumi yang melimpah.
Pada
sisi lain, dalam rangka mengefektifkan konsep pembangunan, Soeharto menerapkan harmonisme, yaitu paham yang mengacu
pada pola interaksi sosial yang mengutamakan keseimbangan dan keselarasan.
Dengan paham ini, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang telah
dirancang harus berjalan di atas stabilitas politik dan keamanan yang
terkendali. Bagaimana akan tercipta kesejahteraan tanpa situasi politik dan
keamanan yang stabil.
Untuk
kepentingan stabilitas nasional itu pula Orde Baru menyiapkan kebijakan dalam
bidang politik dan pertahanan dengan menggunakan sistem Demokrasi Pancasila.
Di
bawah Demokrasi Pancasila Indonesia dapat merasakan stabilitas Nasional yang
cukup memadai. Keamanan terkendali. Sektor ekonomi maju pesat. Pembangunan
diupayakan dapat merata ke pelosok-pelosok negeri, meskipun hanya sedikit yang
berhasil. Target dari sistem Demokrasi Pancasila adalah pembangunan ekonomi
yang berencana, untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, stabilitas politik dan
keamanan menjadi persoalan bangsa yang amat penting. Bagaimana akan tercipta
kesejahteraan tanpa situasi politik dan keamanan yang stabil? Untuk itulah
perlu dibuat “Undang-Undang Anti Subversi”, sanksi bagi petualang politik dan
pengacau keamanan. Hasilnya cukup spektakuler. Rakyat khususnya masyarakat
kelas menengah ke bawah, merasakan betul betapa tenang dan damai hidup di bawah
sistem Demokrasi Pancasila.
Rezim
Demokrasi Pancasila sukses dalam beberapa hal, tetapi tidak sukses dalam banyak
hal. Lemahnya bidang pengawasan dalam proses pembangunan ekonomi menyebabkan
terjadinya “negosiasi” antara elite birokrasi dengan para pengusaha kelas
menengah atas. Muncullah praktik-praktik yang kemudian dikenal dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan birokrasi,
dari pusat merembet ke daerah-daerah.
Di
sisi lain situasi politik ternyata berada pada posisi “api dalam sekam”. Selama
32 tahun di bawah rezim Demokrasi Pancasila, rakyat semakin merasa hak-hak
politiknya dipasung. Pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversi dan pembatasan
kebebasan pers yang terlalu ketat, telah dirasakan menyumbat kran demokrasi.
Pada
gilirannya, dengan Demokrasi Pancasila, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai
upaya untuk melegitimasikan kekuasaan, dengan cara melakukan sakraliasasi
Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana konsep Demokrasi Terpimpin yang cenderung
menjadikan kekuasaan terpusat di tangan satu orang dengan mengambil peran
“Kebijaksanaan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,”pada masa Orde Baru, upaya sakralisasi ini terus
berlanjut. Bahkan, konsep dan gagasan Soekarno yang tidak sempat direalisasikan, atau yang kurang efektif
dalam implementasinya, ternyata kemudian sukses di tangan Orde Baru. Dengan
halus tetapi tepat sasaran, Soeharto sukses merealisasikan konsep dan gagasan
Soekarno. Karena itu, banyak yang berpendapat, strategi dan kebijakan politik
Orde Baru pada dasarnya merupakan strategi kebijakan politik Demokrasi
Terpimpin. Gerakan 30 September kemudian menjadi moment penting bagi konsep
sakralisasi Pancasila dan UUD 1945. Karena dari sini terbukti upaya-upaya untuk
mengganti dasar Negara Pancasila mengalami kegagalan. Maka 1 Oktober menja-di
Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila (dan juga UUD 1945) menjadi begitu sakti
dan keramat. Tidak boleh “disentuh,” meskipun sebatas pembahasan dan diskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar